Mengapa Manusia Mencintai?

Hudzaefah Elmira
2 min readJun 12, 2024

--

[SPOILER FILM/SERIES ALERT]

Manusia mencintai karena ia adalah makhluk eksistensial, begitu yang dikatakan oleh Fahruddin Faiz, melalui kanal Ngaji Filsafat-nya. Dalam filsafat, persoalan eksistensial menjadi kata kunci pada aliran filsafat eksistensialisme yang mengorek cukup dalam mengenai bagaimana manusia berpikir tentang suatu keberadaan yang perlu dimaknai. Eksistensi dan makna tersebut dijembatani oleh sebuah relasi. Dalam budaya pop, gagasan filsafat tersebut secara implisit dapat ditemukan, salah satunya melalui film ataupun series.

Sebagaimana dalam series Netflix berjudul Parasyte: The Grey (2024) — Jeong Su In, seorang perempuan sebatang kara yang sialnya ditengah kemenderitaannya saat terkena begal, tubuhnya dimasuki parasit. Bukannya memakan lahap total otaknya dan mengambil alih tubuhnya, parasit tersebut justru mensinkronkan dirinya dengan melakukan penyembuhan pada luka di tubuh Jeong Su In. Dengan fokus yang terbagi itu, parasit tersebut hanya bisa mengambil alih sebagaian tubuh Jeong Su In saja. Hasilnya, parasite yang dinamainya Heidi itu hanya dapat keluar dengan waktu yang terbatas jika terdapat ancaman fisik kepada Jeong su In.

Di salah satu episode menuju akhir, di tengah ancaman fisik tinggi yang mengancam nyawa, Heidi membawa Jeong Su In ke dalam alam bawah sadar untuk menyelematkan nyawanya. Di alam itu, mereka berdua bertemu tatap raga dan saling berbicara. Menonton bersama memori masa kecil Jeong su In yang dipukuli ayahnya dan dicampakkan ibunya.

Saat melihat memori kelam Jeong Su In yang dicampakkan oleh ibunya, Heidi merespon bahwa sering kali manusia membenci suatu hal bukan karena kejadian itu sendiri, melainkan relasi dari kejadian itu. Ibunya Jeong Su In tidak benar-benar membencinya, ia hanya membenci relasi tentang pengalaman buruk yang didapatkan dari mantan suaminya jika melihat Jeong Su In. Dan kemudian pada akhirnya dari dialog serta dinamika yang berjalan di antara keduanya, perlahan Jeong Su In sebagai inang tubuh mulai menerima bahwa Heidi adalah bagian dari dirinya.

Selain itu, juga dari film berjudul Architecture of Love (2024) — Raya menjelaskan mengapa perasaannya dapat tumbuh kepada River karena baginya, kehadiran River membuatnya hidup kembali setelah merasa disfungsi akibat perselingkuhan mantan suaminya. Raya hidup sebagai penulis yang terus mencerna dan memaknai apa yang terjadi dalam hidupnya. Hadirnya River menghadiahi Raya “mata baru” untuk memandang dunia melalui pengetahuan gedung dengan narasi kontemplatifnya.

Gedung tanpa cerita hanyalah bangunan material yang dibangun melalui perhitungan angka dan pertimbangan estetika. Makanan dan minuman hanyalah kebutuhan pokok untuk bertahan hidup. Dan manusia… hanyalah makhluk yang meramaikan bumi, mungkin? Namun yang membedakan pengalaman hidup di antara manusia-manusia adalah gagasan tentang makna yang ditaruh pada relasi yang dikaitkan.

Mengurut kembali pada asumsi eksistensialisme, melalui pandangan Soren Kierkegaard, manusia yang berani mengambil keputusan atas pilihan hidupnya sendiri adalah ia yang mampu bereksistensi. Memilih untuk mulai mencintai, jika berguru kepada Erich Fromm, adalah tentang bagaimana cara mencintai, bukan tentang apa yang dicintai. Karena menurut Fromm, cinta adalah seni yang perlu dipelajari. Perlu untuk belajar mencintai dengan baik karena seringkali cinta berjalan secara tidak sadar merusak yang dicintai, atau bahkan merusak dirinya yang mencintai.

Cinta adalah relasi paling agung antar manusia. Cukup rumit, karena adapun yang berpendapat bahwa cinta adalah belenggu karena adanya ikatan yang tidak membebaskan. Meski demikian, dapat dikatakan — ia yang mampu memutuskan soal cinta secara penuh sadar, adalah ia yang mampu bereksistensi.

--

--