Aku dan Ranah Publik

Hudzaefah Elmira
2 min readMar 2, 2024

--

Tenggorokanku gatal namun tidak bisa digaruk. Aku harus membeli larutan dan malam itu aku langsung ke luar untuk mencarinya. Sampai di simpang lampu merah, aku berhenti. Semua yang ada di depanku juga berhenti. Tanpa adanya diskusi dan kesepakatan bersama, ternyata segerombolan motor di depanku termasuk aku, melakukan aksi sen kanan. Namun, rasanya mereka semua tidak sedang sakit tenggorokan dan berniat mencari larutan. Ada yang mungkin sedang pergi mencari makan, ada yang pergi untuk nongkrong, atau yang lainnya.

Tiba di suatu supermarket, aku menemukan larutannya. Karna tidak ingin dianggap maling dan jelas itu dosa, aku pergi ke kasir untuk membayar. Di luar dugaan, antrean panjang sekali. Rasanya gerombolan motor di simpang lampu merah tadi tidak mengarah ke supermarket ini, kenapa banyak sekali orang? ku lihat hari, ini hari Jum’at. Ku lihat tanggal, ini adalah awal bulan. Sepertinya, mereka adalah orang-orang yang akan menghabiskan gaji bulanan untuk kebutuhan sehari-harinya. Aku sampai lupa, karna belum gajian.

Aku kembali membawa motor, kembali pulang namun sedikit berbelok ke jalan tepi pantai dengan kecepatan stabil di angka 20/km-an. Playlist-ku saat itu adalah kebisingan jalan raya, bunyi kehidupan di ranah publik. Aku sedang bosan mendengar lagu-lagu, aku sedang ingin mendengarkan diri sendiri yang tuna rasa.

Semenjak aku mulai bisa membawa motor, aku jadi selalu memikirkan HAM. Sangat tipis sekali irisan HAM di jalan raya. Aku jadi teringat, aku tersenyum sepanjang jalan saat perjalanan (sedikit) jauh pertama mengendarai sepeda motor. Melewati jalan yang berbelok-belok, mencoba menyalip kendaraan lain secara aman. Masih di dalam kota, namun tetap saja itu cukup mengesankan karna mempertaruhkan rasa takut yang sudah aku besarkan sejak lama.

--

--